Pejabat PUPR Sumut Terjaring OTT KPK: Proyek Jalan Bermasalah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengungkap dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan pada Kamis malam, 26 Juni 2025, mengungkap keterlibatan pejabat Pemerintah Provinsi Sumut dan beberapa perusahaan swasta.
OTT ini merupakan hasil pengembangan informasi awal terkait penarikan dana miliaran rupiah untuk menyuap pejabat. Informasi tersebut juga didukung laporan warga mengenai kualitas jalan yang buruk.
Kronologi OTT KPK di Sumatera Utara
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur, menjelaskan bahwa tim penyidik awalnya mendapatkan informasi mengenai rencana transaksi suap proyek infrastruktur jalan.
Uang suap yang diduga berjumlah sekitar Rp2 miliar berasal dari pihak swasta yang ingin memenangkan proyek secara ilegal.
Asep menyatakan dalam konferensi pers yang dikutip dari Instagram @kpk.official, bahwa dana tersebut akan dibagi-bagikan untuk “mengondisikan” proyek pembangunan jalan.
Tim KPK kemudian menelusuri aliran uang dari pihak swasta. Mereka menemukan adanya pertemuan antara pihak swasta dengan beberapa pejabat negara.
Asep menyebutkan, “Kami memantau ada pertemuan antara RES, KIR dan TOP. Kami pun mengikuti pergerakan uang tersebut.”
Setelah melakukan pemantauan, KPK mengamankan enam orang dan menetapkan lima sebagai tersangka.
Tersangka dan Peran Mereka dalam Kasus Korupsi
Lima orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Cabang KPK, Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan hingga 17 Juli 2025.
Berikut identitas dan peran para tersangka:
- Topan Obaja Putra Ginting (TOP) – Kepala Dinas PUPR Sumut.
- Rasuli Efendi Siregar (RES) – Kepala UPTD Gunung Tua dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
- M. Akhirun Efendi (KIR) – Direktur Utama PT DNG.
- Heliyanto (HEL) – PPK Satker PJN Wilayah I Sumut.
- M. Rayhan Dulasmi Pilang (RAY) – Direktur PT RN.
KIR dan RAY dijerat sebagai pemberi suap, sedangkan TOP, RES, dan HEL sebagai penerima suap.
Nilai Proyek dan Alasan Penindakan Cepat KPK
Proyek jalan tersebut memiliki nilai fantastis, mencapai Rp231,8 miliar. Dugaan suap yang akan dibayarkan diperkirakan 10-20 persen dari total anggaran, atau sekitar Rp46 miliar.
KPK menghadapi dilema: menunggu proyek selesai dan uang suap cair sepenuhnya, atau melakukan penangkapan lebih awal.
KPK memilih untuk melakukan penangkapan lebih dini. Hal ini dilakukan untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar dan memastikan proyek dikerjakan oleh kontraktor yang kompeten.
Asep menegaskan, jika dibiarkan, kualitas pekerjaan jalan pasti tidak maksimal karena dana proyek digunakan untuk suap, bukan pembangunan.
Dalam OTT tersebut, KPK menyita uang tunai Rp231 juta dari kediaman KIR. Uang tersebut diduga merupakan sisa suap yang telah diberikan.
Pasal yang dikenakan kepada para tersangka adalah Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (untuk pemberi suap).
Sementara, penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau Pasal 12B UU Tipikor, juga juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini menunjukkan komitmen KPK dalam memberantas korupsi di sektor infrastruktur. Kecepatan tindakan KPK dalam OTT ini patut diapresiasi, mencegah potensi kerugian negara yang jauh lebih besar dan memastikan proyek pembangunan jalan dapat berjalan sesuai rencana dan kualitas yang diharapkan. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pihak terkait untuk selalu menjunjung tinggi integritas dan transparansi dalam setiap proyek pemerintah.