Rahasia Konsisten: Tips Psikolog untuk Raih Tujuan & Bahagia!

Menjaga konsistensi dalam rutinitas harian bukanlah sekadar soal kemauan keras atau disiplin. Ini lebih kepada memahami tingkat kesulitan yang sebenarnya kita hadapi.
Gayathri Arvind, seorang advokat kesehatan mental, menjelaskan hal ini dalam kanal YouTube Abhasa – Mental Health. Ia menekankan pentingnya membangun kebiasaan jangka panjang yang berkelanjutan.
Arvind membagi konsistensi menjadi tiga level kesulitan. Kesulitan yang dialami bukan karena kelemahan pribadi, melainkan karena kita mungkin salah memahami level yang sedang kita jalani.
Memahami Tiga Tingkat Kesulitan Konsistensi
Konsistensi, menurut Arvind, terbagi menjadi tiga level: konsistensi alami (level tiga), konsistensi terlatih (level dua), dan konsistensi paksa (level satu).
Banyak orang salah langkah dengan langsung memulai dari level tiga, padahal itu adalah hasil akhir, bukan titik awal. Level ini merupakan puncak dari proses membangun kebiasaan.
Konsistensi Alami: Sebuah Proses Otomatis
Konsistensi alami adalah tahap di mana kebiasaan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita, tanpa paksaan.
Bayangkan nenek moyang kita; mereka konsisten dalam aktivitas harian tanpa aplikasi pengingat atau jadwal ketat. Kehidupan mereka didorong oleh kebutuhan dasar bertahan hidup.
Aktivitas seperti mencari makan, membangun tempat tinggal, dan merawat keluarga menjadi rutinitas otomatis yang tertanam dalam insting mereka.
Konsistensi Terlatih: Membangun Ritme dan Asosiasi Emosional
Setelah melewati tahap awal, kita mencapai konsistensi terlatih. Kebiasaan mulai tertanam, meski belum sepenuhnya otomatis.
Otak mulai mengasosiasikan emosi tertentu dengan ritme kebiasaan tersebut. Fokus utama di tahap ini adalah kontinuitas, bukan intensitas.
Arvind menekankan pentingnya kehadiran, sekecil apapun. Kehadiran menunjukkan komitmen kepada otak, memperkuat pentingnya kebiasaan tersebut.
Konsistensi Paksa: Memulai dari Titik Nol
Level satu adalah konsistensi paksa, di mana kita memaksakan diri melakukan sesuatu yang belum terasa menyenangkan atau mendesak.
Motivasi di tahap ini rendah karena tanpa dorongan biologis. Kemauan adalah kunci utama di level ini.
Arvind menyarankan untuk tidak membangun banyak kebiasaan sekaligus, dan menggabungkan aktivitas berat dengan hal yang menyenangkan untuk memicu pelepasan dopamin.
Dengan begitu, otak akan berasosiasi dengan perasaan positif, mendorong kita untuk melanjutkan kebiasaan tersebut.
Kesimpulannya, membangun konsistensi adalah perjalanan bertahap, bukan lompatan. Memulai dari level yang tepat dan memahami prosesnya adalah kunci keberhasilan. Fokus pada satu kebiasaan utama yang berdampak besar akan mengajarkan otak kita tentang kemampuan diri sendiri, mengubah konsistensi dari sebuah tugas menjadi identitas. Dengan demikian, konsistensi tak lagi menjadi beban, melainkan jati diri.