Berita

Mahasiswi UNS Tewas Jembatan Jurug: Isi Surat Wasiat Pilu

Tragedi meninggalnya DSA, mahasiswi semester 8 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) UNS Solo, mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Pada Selasa, 1 Juli 2025, DSA ditemukan meninggal dunia setelah diduga melompat dari Jembatan Jurug.

Kejadian ini menyisakan duka mendalam dan pertanyaan besar tentang kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Surat wasiat DSA yang viral di media sosial mengungkapkan beban psikologis yang ia tanggung.

Tragedi di Jembatan Jurug: Kematian Mahasiswi UNS Solo

Arus lalu lintas di Jembatan Jurug masih sepi ketika saksi mata melihat DSA berdiri di tepi jembatan sebelum akhirnya melompat. Tim BPBD Surakarta langsung melakukan evakuasi.

Identitas DSA dikonfirmasi berdasarkan barang-barang pribadi dan keterangan keluarga. Pihak UNS mengonfirmasi bahwa DSA tengah menyelesaikan studinya dan dikenal sebagai mahasiswa yang rajin, namun pendiam.

Koordinator Lapangan BPBD Surakarta, Haryanto, menjelaskan bahwa DSA dikenal sebagai mahasiswa yang pendiam dan cenderung tertutup.

Surat Wasiat yang Mengungkap Keputusasaan

Surat wasiat DSA yang beredar di media sosial mengungkapkan keputusasaan mendalam. Kalimat “Aku pergi ya… Jangan salahkan keluarga atau tempat instansi aku kuliah. Aku hanya bermasalah dengan diriku sendiri. Aku capek… Maaf… Aku tak sekuat itu,” menggambarkan tekanan psikologis yang ia alami.

Dalam surat tersebut, DSA juga meminta maaf kepada dosennya, Dr. Sumardiyono, S.KM, karena telah “menghianati” janjinya untuk bertahan. Ia merasa disalahpahami dan lelah dengan perbandingan penderitaan antara dirinya dengan orang lain.

Ungkapan “Tak masalah semua orang bilang yang lain bipolar juga bisa, aku enggak… aku capek,” menunjukkan dampak negatif dari komentar yang meremehkan perjuangan kesehatan mental.

Jejak Kelelahan Mental di Media Sosial

Sebelum kejadian, DSA mengunggah cerita Instagram tentang layanan konsultasi psikologi. Teman-temannya mengakui bahwa ia pernah curhat tentang kelelahan mental.

Namun, sifat tertutup DSA membuat orang-orang di sekitarnya kesulitan memahami beban yang ia tanggung. Salah satu temannya mengungkapkan, “Dia terakhir posting story tentang konsultasi psikolog. Tapi kami semua tidak pernah tahu masalah pastinya. Dia orangnya pendiam, kalau cerita pun ragu-ragu dan takut dihakimi.”

Kisah ini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang mengalami tekanan mental mampu secara terbuka meminta bantuan.

Respons Publik dan Refleksi Kolektif

Beredarnya surat wasiat DSA memicu gelombang empati di media sosial. Ribuan komentar bermunculan, menunjukkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.

Akun @aff.i97 menulis, “Kalau ada teman atau keluarga yang kelihatan depresi, tolong didekati, diajak ngobrol, jangan dibiarkan sendirian.” Sementara @sufiya_mumtazah menekankan bahaya membandingkan penderita gangguan mental.

Peristiwa ini menjadi bukti bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, bahkan di lingkungan akademik.

Perspektif Ahli dan Solusi Sistemik

Psikolog klinis Dr. Yunita Pranawati menjelaskan bahwa bunuh diri seringkali disebabkan oleh kombinasi faktor biologis, psikologis, dan sosial.

Beberapa faktor risiko meliputi gangguan mood dan depresi, trauma psikososial (tekanan akademik, relasi sosial yang minim, konflik keluarga), kurangnya dukungan emosional, dan stigma serta komentar meremehkan.

  • Institusi pendidikan perlu menyediakan layanan konseling psikologi yang mudah diakses dan gratis.
  • Pelatihan literasi kesehatan mental bagi dosen dan staf kampus penting untuk membangun empati.

Tanggung Jawab Institusi dan Pemerintah

Kasus DSA bukanlah kasus tunggal. Prevalensi depresi di kalangan mahasiswa Indonesia meningkat. Tuntutan akademik, kompetisi, dan ekspektasi keluarga menciptakan tekanan yang signifikan.

Institusi pendidikan tinggi harus berperan aktif dalam pencegahan, antara lain dengan menyediakan hotline krisis, program pendampingan psikologis proaktif, pendidikan literasi mental, dan kebijakan anti-stigma.

  • Hotline krisis 24 jam sangat penting untuk akses bantuan segera.
  • Program asesmen kesehatan mental berkala akan mendeteksi masalah lebih awal.
  • Pendidikan literasi mental akan meningkatkan kesadaran dan kemampuan mendeteksi tanda depresi.
  • Kebijakan anti-stigma akan menciptakan ruang aman bagi mahasiswa untuk berbagi.

Kepergian DSA seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Kesehatan mental bukan hal sepele. Dengan empati, edukasi, dan ruang aman, semoga tidak ada lagi jiwa muda yang menyerah dalam kesunyian. Jika Anda atau orang terdekat membutuhkan bantuan, hubungi Halo Kemkes 1500-567, Yayasan Pulih (021) 78842580, atau layanan kesehatan jiwa RSUD setempat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button