Sandiaga Uno: Anak Tolak Beasiswa LPDP, Kenapa?
Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, kembali menjadi sorotan publik. Pernyataan kontroversial Sandiaga terkait larangan bagi anak-anaknya untuk mendaftar beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) memicu perdebatan hangat di masyarakat.
Keputusan ini disampaikan Sandiaga saat bertemu dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia di Kuala Lumpur pada 24 Juni 2025. Pernyataan tersebut bukan hanya menimbulkan pertanyaan tentang jumlah anak Sandiaga, tetapi juga memicu diskusi luas tentang etika dan keadilan akses beasiswa.
Sandiaga Uno dan Larangan Beasiswa LPDP untuk Anak-Anaknya
Sandiaga Uno memiliki tiga anak: Aneesha Atheera Uno, Amyra Atheefa Uno, dan Sulaiman Saladdin Uno. Ia secara tegas melarang ketiganya untuk mendaftar beasiswa LPDP.
Alasan Sandiaga jelas: tingkat persaingan beasiswa LPDP yang sangat ketat, dengan persentase kelulusan di bawah 1 persen. Beasiswa ini, menurutnya, harus diprioritaskan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan karena keterbatasan finansial.
Menurutnya, anak-anaknya berasal dari keluarga yang mampu secara finansial. Mendaftar beasiswa LPDP akan mengurangi kesempatan bagi calon penerima beasiswa lain yang lebih membutuhkan.
Contoh Teladan: Amyra Atheefa Uno dan Pendidikan tanpa Beasiswa
Sandiaga mencontohkan putrinya, Amyra Atheefa Uno, yang berhasil menyelesaikan pendidikan magister di New York University tanpa bantuan beasiswa pemerintah.
Ini menunjukkan komitmen keluarga Sandiaga untuk membiayai pendidikan anak-anaknya sendiri, memberi kesempatan yang lebih besar kepada mereka yang kurang beruntung.
Ia menekankan tanggung jawab moral keluarga untuk menyediakan biaya pendidikan anak, sehingga beasiswa LPDP dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh mereka yang membutuhkan.
Apresiasi dan Kritik terhadap Sikap Sandiaga Uno
Sikap tegas Sandiaga mendapatkan apresiasi luas dari masyarakat. Banyak yang memuji komitmennya terhadap prinsip keadilan dan kepeduliannya terhadap mereka yang kurang mampu.
Namun, ada pula kritik yang muncul. Beberapa kalangan berpendapat bahwa secara regulasi, LPDP tidak membatasi pendaftar berdasarkan latar belakang ekonomi.
Seleksi LPDP didasarkan pada prestasi akademik dan kelulusan seleksi ketat. Secara formal, anak dari keluarga mampu tetap berhak mendaftar, asalkan memenuhi syarat.
Walaupun demikian, tindakan Sandiaga tetap dianggap sebagai contoh moral yang baik, menunjukkan kepekaan sosial yang tinggi.
Sikap Sandiaga juga menekankan pentingnya kontribusi penerima beasiswa LPDP bagi pembangunan Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan. Beasiswa ini bukan sekadar bantuan, melainkan amanah yang harus dibalas dengan pengabdian.
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sendiri merupakan program beasiswa bergengsi di Indonesia yang dibiayai dari Dana Abadi Pendidikan. Tujuannya untuk mencetak generasi unggul yang berkontribusi pada kemajuan bangsa.
Penerima beasiswa LPDP diwajibkan untuk berkontribusi bagi pembangunan Indonesia setelah lulus, baik melalui riset, inovasi, atau kegiatan profesional lainnya.
Dalam konteks ini, pernyataan Sandiaga menggarisbawahi pentingnya kesadaran moral dalam penggunaan dana publik, dengan memprioritaskan mereka yang memiliki prestasi akademik tinggi namun terkendala finansial.
Peristiwa ini memicu perdebatan publik yang penting tentang keadilan akses pendidikan dan tanggung jawab moral dalam memanfaatkan sumber daya publik. Sikap Sandiaga, baik yang diapresiasi maupun dikritik, telah memunculkan diskusi yang berharga mengenai bagaimana memastikan kesempatan pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh warga negara.



