Gaya Hidup

Jokowi & Stevens-Johnson Syndrome: Misteri Penyakit Langka yang Mengejutkan Dunia

Kabar mengenai kondisi kesehatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan menjadi perhatian publik. Beredar foto dan video yang memperlihatkan perubahan kondisi kulit wajah dan lehernya.

Perubahan ini muncul setelah kunjungan kenegaraan ke Vatikan, memicu spekulasi mengenai kemungkinan gangguan kesehatan dermatologis.

Nama penyakit Stevens-Johnson Syndrome (SJS) bahkan disebut-sebut sebagai penyebabnya. Penyakit ini dikenal memiliki dampak serius pada kulit dan jaringan mukosa.

Spekulasi semakin ramai beredar di media sosial, terutama setelah perayaan ulang tahun Jokowi ke-64 pada 21 Juni 2025.

Klarifikasi Istana Mengenai Kondisi Jokowi

Istana Negara memberikan klarifikasi resmi terkait isu kesehatan Presiden Jokowi. Ajudan Presiden, Kompol Syarif Fitriansyah, menyatakan bahwa Presiden dalam keadaan baik.

Kompol Syarif menjelaskan bahwa kondisi tersebut hanyalah reaksi alergi kulit ringan akibat perubahan cuaca setelah pulang dari luar negeri. Ia membantah isu Jokowi menderita SJS.

Menurut keterangannya, Jokowi tidak menunjukkan gejala khas SJS seperti demam tinggi, lepuhan, atau rasa panas yang hebat pada kulit.

Alergi ringan tersebut muncul beberapa hari setelah kepulangan dari Vatikan dan kini sedang dalam proses pemulihan.

Mengenal Stevens-Johnson Syndrome (SJS)

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) adalah kondisi langka dan serius yang menyerang kulit dan membran mukosa.

Kondisi ini biasanya diawali gejala mirip flu, kemudian berkembang menjadi ruam menyakitkan yang melepuh dan mengelupas.

Gejala tersebut meliputi ruam merah, lepuhan, hingga kulit terkelupas, seringkali juga menyerang area sekitar mata, bibir, dan organ reproduksi.

Mayo Clinic menjelaskan SJS sebagai kondisi yang membutuhkan penanganan medis segera.

Penyebab, Faktor Risiko, dan Penanganan SJS

SJS umumnya dipicu oleh reaksi terhadap obat-obatan atau infeksi.

Beberapa obat yang berpotensi memicu SJS meliputi antibiotik sulfa, obat epilepsi (seperti carbamazepine), obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat HIV, dan allopurinol.

Infeksi seperti pneumonia, virus herpes, dan HIV/AIDS juga dapat menjadi pemicu.

Orang dengan daya tahan tubuh lemah, penderita kanker, dan mereka yang memiliki riwayat keluarga SJS memiliki risiko lebih tinggi.

Orang Asia dengan gen HLA-B*1502 juga lebih sensitif terhadap obat epilepsi tertentu.

SJS merupakan kondisi darurat medis yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.

Penanganan meliputi penghentian obat pemicu, perawatan luka, pencegahan infeksi, pemberian cairan dan nutrisi, serta pengobatan antiinflamasi dan pereda nyeri.

Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, SJS dapat berkembang menjadi toxic epidermal necrolysis (TEN), kondisi yang lebih parah dan berpotensi fatal.

Kesimpulannya, meskipun Istana telah memberikan klarifikasi mengenai kondisi Presiden Jokowi, memahami SJS tetap penting bagi publik. Semoga informasi ini bermanfaat dan meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi kesehatan yang serius ini.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button