Rahasia Konsisten: Tips Kesehatan Mental Tingkatkan Produktivitas Anda

Menjaga konsistensi dalam menjalani rutinitas harian bukanlah sekadar soal kemauan keras atau kedisiplinan. Lebih dari itu, memahami tingkat kesulitan yang dihadapi menjadi kunci utama keberhasilan.
Hal ini diungkapkan oleh Gayathri Arvind, seorang advokat kesehatan mental. Ia menekankan pentingnya membangun kebiasaan jangka panjang yang berkelanjutan.
Menurut Arvind, kunci konsistensi terletak pada pemahaman tiga tingkatan kesulitan. Kegagalan seringkali bukan karena kurangnya kemauan, melainkan karena salah memilih titik awal.
Tiga Tingkat Kesulitan Mencapai Konsistensi
Arvind mengklasifikasikan konsistensi ke dalam tiga level: alami (level tiga), terlatih (level dua), dan paksa (level satu).
Banyak orang salah langkah dengan langsung memulai dari level tiga, padahal ini merupakan hasil akhir, bukan titik awal yang tepat.
Konsistensi Alami: Kebiasaan Instingtif
Level tiga, konsistensi alami, merupakan kondisi di mana kebiasaan telah menyatu dengan diri sendiri, tanpa paksaan.
Contohnya adalah rutinitas nenek moyang kita yang tanpa aplikasi pengingat, tetap konsisten dalam kegiatan sehari-hari demi keberlangsungan hidup.
Konsistensi alami ini didorong oleh insting bertahan hidup, yang secara biologis memprioritaskan aktivitas vital seperti makan dan perlindungan.
Konsistensi Terlatih: Membangun Kebiasaan
Level dua, konsistensi terlatih, menandai tahap di mana kebiasaan mulai stabil, walau belum sepenuhnya otomatis.
Pada tahap ini, kebiasaan telah menemukan ritmenya, dan otak mulai mengaitkan emosi positif dengan ritme tersebut.
Prioritaskan kontinuitas, bukan intensitas. Konsistensi, sekecil apapun, mengirimkan sinyal penting kepada otak.
Tunjukkan kelelahan, keterlambatan, atau kekacauan sekalipun. Yang terpenting adalah kehadiran dan konsistensi dalam upaya tersebut.
Konsistensi Paksa: Memulai dari Nol
Level satu, konsistensi paksa, adalah tahap di mana kita memaksa diri melakukan sesuatu yang belum terasa menyenangkan atau mendesak.
Motivasi rendah menjadi tantangan utama pada level ini; kemauan menjadi satu-satunya pendorong.
Arvind menyarankan untuk memulai dengan satu kebiasaan utama saja, dan memasangkannya dengan aktivitas menyenangkan untuk memicu dopamin.
Dengan demikian, otak akan mengaitkan kebiasaan tersebut dengan hal positif, sehingga mendorong konsistensi.
Setelah berhasil membangun konsistensi dalam satu kebiasaan, otak akan belajar bahwa kita mampu mencapai hal tersebut. Konsistensi pun akan menjadi bagian dari identitas, bukan sekadar latihan. Ini adalah kunci untuk memenangkan “permainan” konsistensi.