Berita

Pulau Aceh Disengketakan: Kronologi Lengkap Sengketa & Protes

Sengketa kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek menjadi pusat perselisihan antara kedua provinsi. Kompleksitas masalah ini muncul karena perbedaan data dan klaim historis yang saling bertolak belakang.

Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara sama-sama memiliki argumen kuat untuk mendukung klaim mereka. Pertemuan antara kedua Gubernur diharapkan dapat menjadi jalan keluar dari kebuntuan ini.

Latar Belakang Sengketa Keempat Pulau

Permasalahan bermula pada tahun 2008. Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi melakukan verifikasi pulau-pulau di Aceh. Keempat pulau yang disengketakan tidak terdaftar dalam verifikasi tersebut.

Sementara itu, Sumatera Utara mencatat keempat pulau tersebut dalam verifikasi mereka. Perbedaan pencatatan ini menjadi titik awal munculnya sengketa.

Aceh mengklaim kepemilikan berdasarkan bukti historis dan pelayanan publik yang sudah diberikan sejak 1965. Sumatera Utara berpegang pada hasil verifikasi yang menempatkan keempat pulau tersebut di bawah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah.

Kronologi Sengketa dan Perkembangannya

Pada tahun 2009, Gubernur Aceh mengonfirmasi hanya memiliki 260 pulau dalam wilayahnya. Namun, terdapat perbedaan nama dan koordinat keempat pulau yang disengketakan.

Kemendagri menganggap perbedaan koordinat yang mendekati wilayah Sumatera Utara sebagai akar masalah. Hal ini memicu proses panjang penyelesaian sengketa.

Upaya mediasi dilakukan pada tahun 2017. Kemendagri memfasilitasi rapat koordinasi untuk menganalisis data dan koordinat yang diajukan Aceh. Namun, keputusan Kemendagri tetap pada posisi awal.

Puncaknya, pada tahun 2025, Kemendagri menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah melalui Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025. Keputusan ini langsung menuai protes dari Pemerintah Aceh.

Pemerintah Aceh menolak keputusan tersebut dan mengajukan keberatan. Mereka menekankan pelayanan publik dan bukti historis yang mereka miliki sebagai dasar klaim. Survei lapangan gabungan dilakukan pada 2022.

Survei melibatkan pemerintah pusat, Aceh, dan Sumatera Utara. Hasil survei menunjukkan bahwa masalah batas laut yang belum disepakati juga memperumit sengketa. Kemendagri tetap membuka ruang evaluasi dan jalur hukum.

Upaya Penyelesaian dan Harapan ke Depan

Sebagai langkah terbaru, Kemendagri berencana mempertemukan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara. Tujuannya adalah untuk mencari solusi damai atas sengketa yang berkepanjangan ini.

Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyatakan optimis pertemuan tersebut dapat menghasilkan titik temu. Harapannya, solusi yang dicapai dapat mengakhiri sengketa dan memberikan kepastian hukum.

Sengketa ini menyoroti pentingnya pembakuan data dan penegasan batas wilayah. Kejelasan administrasi dan koordinasi antar instansi pemerintah sangat krusial untuk mencegah konflik serupa di masa mendatang.

Proses penyelesaian sengketa ini diharapkan dapat menjadi preseden baik dalam menyelesaikan permasalahan batas wilayah antar daerah di Indonesia. Transparansi dan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci keberhasilannya.

Dengan adanya pertemuan yang diinisiasi Kemendagri, terbuka peluang besar untuk mencapai kesepakatan yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian yang berlandaskan data akurat dan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian bagi masyarakat di kedua provinsi tersebut.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button