Bocah 8 Tahun Bekasi Diduga Lakukan Pelecehan Seksual; Banyak Korban?

Kasus pelecehan seksual terhadap empat anak di Bekasi, Jawa Barat, mengungkap fakta mengejutkan: pelakunya adalah seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Kejadian ini terungkap pada Mei 2025.
Seorang teman pelaku memergoki aksi tersebut di dekat tanggul sungai, tempat bermain anak-anak. Teman tersebut kemudian melaporkan kejadian ini kepada kakak salah satu korban.
Keluarga korban langsung bertindak. Ibu salah satu korban, berinisial R, membawa anaknya yang berusia 7 tahun untuk menjalani pemeriksaan medis.
Hasil visum menunjukkan adanya luka di bagian anus korban, membuktikan adanya kekerasan seksual. Luka tersebut mengakibatkan trauma fisik dan psikis yang mendalam.
Korban, menurut ibunya, mengalami gangguan psikologis berat. Ia kerap menangis dan ketakutan, terutama saat ditinggal sendirian.
Visum Membuktikan Pelecehan, Trauma Mendalam Menyelimuti Korban
Kondisi psikologis korban yang buruk menggambarkan dampak jangka panjang pelecehan seksual, apalagi yang dilakukan oleh teman sebaya. Hal ini memerlukan perhatian serius dan penanganan yang tepat.
Ibu korban, R, mengungkapkan kepedihannya atas kejadian ini. Ia berharap agar anaknya bisa segera pulih dari trauma yang dialaminya.
Laporan Polisi Ditolak, Keluarga Korban Mencari Keadilan
Upaya keluarga untuk mendapatkan keadilan menemui hambatan. Laporan mereka ke Polres Metro Bekasi ditolak, tanpa penjelasan rinci mengenai alasan penolakan tersebut.
Penolakan laporan ini menambah beban psikis keluarga korban. Mereka tidak hanya berjuang melawan trauma, tetapi juga menghadapi kesulitan mendapatkan dukungan dari aparat penegak hukum.
Upaya mediasi melalui Dinas Perlindungan Anak Kota Bekasi juga tertunda. Ibu korban, R, harus dirawat di rumah sakit akibat tekanan fisik dan mental yang dialaminya.
Perlu Rehabilitasi Pelaku dan Pendampingan Korban
Meskipun pelaku masih berusia 8 tahun dan belum memiliki tanggung jawab hukum penuh sesuai UU SPPA, keluarga korban berharap pelaku mendapatkan rehabilitasi.
Tujuannya, agar pelaku mendapat bimbingan agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah munculnya korban baru. Ini menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan.
Ibu korban menekankan pentingnya rehabilitasi untuk pelaku. Ia berharap agar kejadian serupa tidak terulang pada anak-anak lain di masa mendatang.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak di bawah 12 tahun tidak dapat dituntut pidana. Namun, tindakan rehabilitatif tetap dapat diterapkan.
Sistem hukum Indonesia menyediakan ruang perlindungan bagi pelaku anak. Namun, lemahnya pelaksanaan di lapangan menjadi kendala utama dalam memberikan keadilan bagi korban.
Keengganan aparat menerima laporan dan lambannya tindak lanjut instansi perlindungan anak menunjukkan celah sistemik yang perlu segera diperbaiki.
Dampak psikologis jangka panjang pada anak korban sangat signifikan. Mereka dapat mengalami gangguan kepercayaan, fobia sosial, kecemasan, hingga depresi.
Layanan konseling psikologis gratis untuk korban kekerasan seksual anak sangat penting. Pemulihan mental korban sama pentingnya dengan proses hukum atau rehabilitasi pelaku.
Kasus ini menjadi peringatan pentingnya pengawasan terhadap anak-anak. Bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga lingkungan sekitar.
Masyarakat perlu berperan aktif dalam pencegahan, mulai dari edukasi seksual hingga pembentukan sistem pelaporan yang ramah anak. Sekolah dan komunitas juga punya tanggung jawab.
Kasus ini mengungkap kompleksitas kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Negara perlu hadir lebih aktif, bukan hanya dalam penegakan hukum, tetapi juga dalam penyembuhan luka sosial dan psikologis.
Rehabilitasi pelaku dan pendampingan korban adalah dua hal yang tak terpisahkan. Keadilan bukan hanya hukuman, tetapi juga penyembuhan. Sistem hukum dan perlindungan anak harus berpihak pada masa depan korban, pelaku, dan masyarakat secara keseluruhan.