Guru Botaki Siswi SMP Lamongan, Kini Dinonaktifkan

Kehebohan melanda SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, menyusul hukuman yang diberikan seorang guru kepada siswinya. Insiden ini menyoroti pentingnya pendekatan yang bijak dalam mendisiplinkan siswa dan menimbulkan pertanyaan seputar aturan sekolah serta metode pembinaan yang tepat.
Peristiwa ini bermula dari pelanggaran aturan berbusana oleh sejumlah siswi. Konsekuensi yang dijatuhkan oleh guru Bahasa Inggris, berinisial EN, menimbulkan kontroversi dan protes dari orang tua murid.
Hukuman Tak Biasa Picu Kontroversi
Guru EN menghukum siswi kelas 9 yang dinilai tidak mengenakan ciput dengan cara mencukur rambut mereka menggunakan alat cukur elektrik. Aksi ini dilakukan setelah jam sekolah.
Para siswi yang merasa diperlakukan tidak adil kemudian mengadukan kejadian tersebut kepada orang tua mereka. Orang tua pun kemudian melaporkan kejadian ini kepada kepala sekolah.
Kejadian yang berlangsung pada 23 Agustus 2023 ini memicu protes keras dari orang tua murid. Pihak sekolah pun berupaya melakukan mediasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dampak dan Mediasi
Meskipun pihak sekolah telah melakukan mediasi dan kasus ini diklaim telah selesai secara damai, para siswi dilaporkan masih mengalami trauma psikis. Mereka membutuhkan pendampingan psikologis untuk memulihkan kondisi mental mereka.
Sebagai konsekuensi atas tindakannya, guru EN mendapatkan sanksi berupa penonaktifan dari tugas mengajar di SMPN 1 Sukodadi. Ia tidak lagi diperbolehkan mengajar di sekolah tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan Lamongan, Munif Syarif, turut angkat bicara mengenai insiden ini. Ia menyatakan sangat menyayangkan tindakan EN yang memberikan hukuman pembotakan rambut tersebut.
Tanggapan Dinas Pendidikan dan Langkah ke Depan
Munif Syarif menjelaskan bahwa guru EN telah ditarik dan ditempatkan di Dinas Pendidikan Lamongan. Ia tidak lagi mengajar di sekolah tersebut.
Menurut Munif Syarif, pemberian hukuman pada siswa merupakan wewenang guru bimbingan konseling (BK), bukan guru mata pelajaran. Tindakan EN dianggap tidak tepat dan melanggar prosedur yang berlaku.
Meskipun pihak sekolah menyatakan kegiatan belajar mengajar telah kembali normal, dan orang tua siswi telah memaafkan guru EN, insiden ini menjadi pelajaran berharga. Insiden ini menjadi sorotan tentang pentingnya pendekatan yang tepat dalam mendisiplinkan siswa dan perlunya pelatihan bagi guru dalam menangani permasalahan siswa secara efektif dan humanis.
Kejadian ini menunjukkan perlunya pengembangan program pelatihan yang komprehensif bagi guru, khususnya dalam hal manajemen konflik dan penanganan permasalahan siswa. Hal ini penting untuk memastikan terciptanya lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan kondusif bagi semua siswa.
Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan harus menjamin adanya mekanisme yang efektif untuk menangani laporan pelanggaran etika dan keselamatan siswa. Proses investigasi dan penegakan hukum harus dijalankan secara transparan dan adil.
Semoga kejadian ini dapat menjadi momentum untuk peningkatan kualitas pendidikan dan pembinaan guru di Lamongan khususnya, dan Indonesia pada umumnya.